|
|
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN DASAR KONSENTRASI PGSD
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG
2014
|
MAKALAH
MEMAKNAI SKOR TES
|
Oleh;
ü
ü
FARINKA NURRAHMAH AZIZAH_0103513071
|
Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Asesmen Pendidikan Dasar
Pengampu
: Dr. Ali Sunarso, M.Pd dan Dr. Sri Haryani, M.Si
|
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji Syukur kami panjatkan kepada
Allah SWT atas cucuran kemudahan dan keluasan pikiran yang diberikan-Nya atas
selesainya makalah ini. Melalui makalah ini, kami berharap akan menambah
pengetahuan dan kemantapan hati pada perjalanan menempuh magister PGSD di
Pascasarjana UNNES ini. Lebih khusus terhadap Mata Kuliah Asesmen Pendidikan
Dasar di semesster II ini. Dan bersyukurlah bila ada seklumit manfaat bagi
rekan-rekan pembaca.
Kami akan merasa tersanjung jika dalam penulisan ini akan ada penyempurnaan dari
pembaca. Karena dengan begitulah makalah kami ini akan menjadi sesuatau yang
lebih baik, dan guna kesempurnaan pada makalah kami yang selanjutnya. Berikutnya kami berharap semoga makalah ini dapat menghantarkan
kesempurnaan bagi kita
Amin...
Akhir ucap kami
selaku penyusun tak hentinya melantunkan terimakasih dan terimakasih atas
kesediaan pembaca meluangkan waktu untuk berkutat dengan makalah kami.
Wassalamu’allaikum Wr. Wb.
Semarang,
Maret 2014
Penyusun,
Dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan untuk Satuan Pendidikan Dasar (Tahun 2013 Semester I&II)
dijelaskan bahwa “Tujuan Pendidikan Dasar adalah meletakan dasar kecerdasan,
pengetahuan,kepribadian, akhlaq mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.” Untuk menjawab pertanyaan tentunya butuh
alat. Dan alat untuk mengetahui itu semua adalah dengan adanya Asesmen. Lebih
lanjut pemerintah Indonesia telah mengatur kesemuanya itu. Diantaranya tertuang
pada UU Sisdiknas 2003, Bab XVI yang menerangkan tentang Evaluasi, Akreditasi,
dan Sertifikasi. Khusnya pada pasal 57 & Pasal 58. Selain itu tentang
penilaian dalam pendidikan juga tersurat pada Salinan Lampiran Permendikbud No.
66 th 2013 tentang Stkitar Penilaian.
Setelah
kita melakukan kegiatan tes terhadap siswa kegiatan berikutnya adalah
memberikan skor pada setiap lembar jawaban siswa. Sebelum melakukan tes,
sebaiknya Kita sudah menyusun teknik pemberian skor (penskoran). Bahkan
sebaiknya Kita sudah berpikir strategi pemberian skor sejak perumusan kalimat pada
setiap butir soal. Pada kegiatan belajar ini akan disajikan pemberian skor pada
tes domain kognitif, afektif, dan psikomotor sesuai dengan pedoman yang telah
dikeluarkan oleh Diknas (2004) yang telah dimodifikasi. Membuat pedoman
penskoran sangat diperlukan, terutama untuk soal bentuk uraian dalam tes domain
kognitif supaya subjektivitas Kita dalam memberikan skor dapat diperkecil.
Pedoman menyusun skor juga akan sangat penting ketika Kita melakukan tes domain
afektif dan psikomotor peserta didik. Karena sejak tes belum dimulai, Kita
harus dapat menentukan ukuran-ukuran sikap dan pilihan tindakan dari peserta
didik dalam menguasai kompetensi yang dipersyaratkan.
a) Apa saja ranah hasil
belajar?
b) Apa deskripsi kualitatif untuk skor?
c) Apa Pengertian dari Penilaian Acuan Patokan (PAP)?
d) Apa Pengertian dari Penilaian Acuan Patokan (PAP)?
BAB II
Pada umumnya
hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah yaitu; ranah kognitif,
psikomotor dan afektif. Secara eksplisit ketiga ranah ini tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Setiap mata pelajaran selalu mengandung ketiga ranah
tersebut, namun penekanannya selalu berbeda. Mata pelajaran praktek lebih
menekankan pada ranah psikomotor, sedangkan mata pelajaran pemahaman konsep
lebih menekankan pada ranah kognitif. Namun kedua ranah tersebut mengandung
ranah afektif.
Ranah
psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui
keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Ranah
psikomotor adalah ranah yang berhubungan aktivitas fisik, misalnya; menulis,
memukul, melompat dan lain sebagainya. Ranah kognitif berhubungan erat dengan
kemampuan berfikir, termasuk di dalamnya kemampuan menghafal, rnemahami,
mengaplikasi, menganalisis, mensintesis dan kemampuan mengevaluasi. Sedangkan
ranah afektif mencakup watak perilaku seperti sikap, minat, konsep diri, nilai
dan moral.
Dalam
paradigma lama, penilaian pembelajaran lebih ditekankan pada hasil (produk) dan
cenderung hanya menilai kemampuan aspek kognitif, yang kadang-kadang direduksi
sedemikian rupa melalui bentuk tes obyektif. Sementara, penilaian dalam aspek
afektif dan psikomotorik kerapkali diabaikan. Kemampuan afektif berhubungan
dengan minat dan sikap yang dapat berbentuk tanggung jawab, kerjasama,
disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain, dan
kemampuan mengendalikan diri.
Tujuan aspek
kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan
intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan
memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan
beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan
masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yangmengungkapkan
tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke
tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi. Masalah afektif dirasakan penting
oleh semua orang, namun implementasinya masih kurang. Hal ini disebabkan
merancang pencapaian tujuan pembelajaran afektif tidak semudah seperti
pembelajaran kognitif dan psikomotor. Satuan pendidikan harus merancang
kegiatan pembelajaran yang tepat agar tujuan pembelajaran afektif dapat
dicapai.
Pada
hakikatnya pemberian skor (scoring) adalah proses pengubahan jawaban instrumen
menjadi angka-angka yang merupakan nilai kuantitatif dari suatu jawaban
terhadap item dalam instrumen. Angka-angka hasil penilaian selanjutnya diproses
menjadi nilai-nilai (grade).
Skor
adalah hasil pekerjaan menyekor (memberikan angka) yang diperoleh dari
angka-angka dari setiap butir soal yang telah di jawab dengan benar, dengan
mempertimbangkan bobot jawaban betulnya. ( Mali El-Bustani)
Maka Penskoring
adalah suatu proses pengubahan jawaban-jawaban tes menjadi angka-angka. Skor
adalah hasil pekerjaan menskor yang diperoleh dengan menjumlahkan angka-angka
bagi setiap soal tes yang dijawab betul oleh siswa. Skor maksimum tidak selalu
tetap, karena ditentukan berdasarkan atas banyak serta bobot soal-soal tesnya.
Seorang siswa yang memperoleh skor 40 bagi tes yang menghendaki skor maksimum
40, mempunyai arti bahwa siswa tersebut sudah menguasai 100% dari tujuan
instruksional khusus yang dirancang oleh guru. Akan tetapi jika skor 40
tersebut diperoleh dari pengerjaan soal tes yang menghendaki skor maksimum 100,
maka skor 40 mencerminkan 40% penguasaan tujuan saja. Dengan demikian maka
angka 40 yang diperoleh oleh seorang siswa setelah ia selesai mengikuti sebuah
tes, belum berbicara apa-apa sebelum diketahui berapa skor maksimum yang
diharapkan jika siswa tersebut dapat mengerjakannya dengan sempurna. Angka 40
ini disebut skor mentah.
Skor
sebenarnya (true score) seringkali
juga disebut dengan istilah skor universe – skor alam (universe score), adalah nilai hipotesis yang sangat tergantung dari
perbedaan individu berkenaan dengan pengetahuan yang dimiliki secara tetap.
Sebagai contoh, apabila seseorang diminta untuk mengerjakan sebuah tes berulang-ulang,
maka rata-rata dari hasil tersebut menggambarkan resultan dari variasi hasil
yang tidak ajek. Inilah gambaran mengenai skor sebenarnya. Akan tetapi, di
dalam praktek tentu tidak mungkin bahwa penilai minta kepada peserta tes untuk
mengerjakan sebuah tes secara berulang-ulang. Gambaran ini hanya untuk menunjukkan
contoh saja dalam menjelaskan pengertian skor sebenarnya. Perbedaan antara skor
yang diperoleh dengan skor sebenarnya, disebut dengan istilah kesalahan dalam
pengukuran atau kesalahan skor, atau dibalik skor kesalahan. Hubungan antara
ketiga macam skor tersebut adalah sebagai berikut:
Skor yang
diperoleh = skor sebenarnya + skor kesalahan
Dalam
menskor atau menentukan angka, dapat digunakan 3 macam alat bantu yaitu :
1.
Pembantu
menentukan jawaban yang benar, disebut kunci jawaban
2.
Pembantu
menyeleksi jawaban yang benar dan yang salah, disebut kunci skoring
3.
Pembantu
menentukan angka, disebut pedoman penilaian
Adapun pada
umumnya, pengolahan data hasil tes menggunakan bantuan statistik. Menurut
Zainal Arifin (2006) dalam pengolahan data hasil test menggunakan empat langkah
pokok yang harus di tempuh.
1)
Menskor,
yaitu memperoleh skor mentah dari tiga jenis alat bantu, yaitu kunci jawaban, kunci
scoring dan pedoman konversi.
2)
Mengubah
skor mentah menjadi skor stkitar
3)
Menkonversikan
skor sekitar kedalam nilai
4)
Melakukan
analisis soal (jika diperlukan) untuk mengetahui derajat validitas dan
realibilitas soal, tingkat kesukaran soal (difficulty
index) dan daya pembeda.
1. Skala
0 – 10
Dalam penggunaan skala 10, skor
aktual siswa ditransfer ke dalam 10 kelompok nilai, yaitu: 1, 2, 3, 4, 5,
6, 7, 8, 9, dan 10. Skala 10 ini dipakai di sekolah sesuai dengan anjuran pada
kurikulum 1975, bahwa seorang siswa yang sudah belajar tidak mungkin pengetahuannya
tidak bertambah, apalagi berkurang. Oleh karena itu, nilai 0 (nol)
ditiadakan. sehingga memungkinkan bagi guru untuk penilaian yang lebih
halus. Dalam skala 1-10, guru jarang memberikan angka pecahan, misalnya 5,5.
Angka 5,5 tersebut kemudian dibulatkan menjadi 6. Dengan demikian maka
rentangan angka 5,5 sampai dengan 6,4 (selisih hamper 1) akan keluar di rapor
dalam satu wajah, yaitu angka 6.
2. Skala
0 – 100
Memang
diseyogyakan bahwa angka itu merupakan bilangan bulat. Dengan menggunakan skala
1-10 maka bilangan bulat yang ada masih menunjukkan penilaian yang agak kasar.
Ada sebenarnya hasil prestasi yang berada diantara kedua angka bulat itu. Untuk
itulah maka dengan menggunakan skala 1-100, dimungkinkan melakukan penilaian
yang lebih halus karena terdapat 100 bilangan bulat. Nilai 5,5 dan 6,4 dalam
skala 1-10 yang biasanya dibulatkan menjadi 6, dalam akala 1-100 ini boleh
dituliskan dengan 55 dan 64. Nilai dengan menggunakan skala seratus
disebut skor T yang bergerak pada interval 0 sampai dengan 100. Nilai dengan
menggunakan skala 100 ini didasari oleh nilai z.
3. Skala baku (skor Z dan skor T )
Skala
baku (stkitar) disebut juga skala z, dan nilainya disebut nilai baku atau nilai
z. Dasarnya adalah kurva normal baku yang memiliki nilai rerata = 0 dan simpangan
baku s = 1.z
4. Skala
Huruf (skala lima)
Skala
lima disebut juga dengan skala huruf karena nilai akhir tidak dinyatakan dengan
angka (bilangan), malainkan dengan huruf A, B, C, D, dan E. Beberapa pakar
evaluasi pendidikan ada pula yang menggunakan huruf F (failure) arai huruf G
(gagal) sebagai pengganti nilai E.
1. Penskoran pada bentuk soal
pilihan Ganda
Cara penskoran tes bentuk pilihan ganda ada tiga macam, yaitu: pertama
penskoran tanpa ada koreksi jawaban, penskoran ada koreksi jawaban, dan
penskoran dengan butir beda bobot.
a) Penskoran tanpa koreksi, yaitu penskoran dengan cara setiap butir soal
yang dijawab benar mendapat nilai satu (tergantung dari bobot butir soal),
sehingga jumlah skor yang diperoleh peserta didik adalah dengan menghitung
banyaknya butir soal yang dijawab benar. Rumusnya sebagai berikut.
Skor = B/N x 100 (skala 0-100)
Ket : B = banyaknya butir yang dijawab benar
N = adalah banyaknya butir soal
Contohnya adalah sebagai berikut :
Pada suatu soal tes ada 50 butir,
Budi menjawab benar 25 butir, maka skor yang dicapai Budi adalah: Skor = 25/50 x 100 = 50
b)
Penskoran ada koreksi jawaban
yaitu pemberian skor dengan memberikan pertimbangan pada butir soal yang
dijawab salah dan tidak dijawab, adapun rumusnya sebagai berikut:
|
B =
banyaknya butir soal yang dijawab benar
S =
banyaknya butir yang dijawab salah
P =
banyaknya pilihan jawaban tiap butir
N =
banyaknya butir soal
Butir soal yang tidak dijawab diberi
skor 0
Contoh :
Pada soal bentuk pilihan ganda yang
terdiri dari 40 butir soal dengan 4 pilihan tiap butir dan banyaknya 40 butir,
Amir dapat menjawab benar 20 butir, mejawab salah 12 butir, dan tidak dijawab
ada 8 butir, maka skor yang diperoleh Amir adalah:
|
Skor = 40
c) Penskoran dengan butir beda bobot yaitu
pemberian skor dengan memberikan bobot berbeda pada sekelompok butir soal.
Biasanya bobot butir soal menyesuaikan dengan tingkatan kognitif (pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi) yang telah dikontrak
guru. Kita juga dapat membedakan bobot butir soal dengan cara lain, misalnya
ada sekelompok butir soal yang dikembangkan dari buku pegangan guru dan
sekelompok yang lain dari luar buku pegangan diberi bobot berbeda, yang pertama
satu, yang lain dua. Adapun rumusnya sebagai berikut:
|
Bi = banyaknya butir soal yang dijawab benar peserta tes
bi = bobot setiap butir soal
St = skor teoritis (skor bila menjawab benar semua butir soal)
Contoh:
Pada suatu soal tes matapelajaran
IPA berjumlah 40 butir yang terdiri dari enam tingkat domain kognitif diberi
bobot sebagai berikut: pengetahuan bobot 1, pemahaman 2, penerapan 3, analisis
4, sintesis 5, dan evaluasi 6. Yoyok dapat menjawab benar 8 butir soal domain
pengetahuan dari 12 butir, 12 butir dari 20 butir soal pehamanan, 2 butir soal
penerapan dari 4 butir, 1 butir
soal analisis dari 2 butir, dan 1
butir soal sintesis dan evaluasi masing-masing 1 butir. Berapakah skor yang
diperoleh Yoyok? Untuk mempermudah memberi skor disusun Tabel 6.1. sebagai
berikut:
Domain butir soal
|
Jumlah butir
|
bi
|
Jlh butir x bi
|
Bi
|
Pengetahuan
|
12
|
1
|
12
|
8
|
Pemahaman
|
20
|
2
|
40
|
12
|
Penerapan
|
4
|
3
|
12
|
2
|
Analisis
|
2
|
4
|
8
|
1
|
Sintesis
|
1
|
5
|
5
|
1
|
Evaluasi
|
1
|
6
|
6
|
1
|
Jumlah =
|
40
|
-
|
St = 83
|
25
|
|
Skor = 63,9 %
Jadi skor yang diperoleh Yoyok
adalah 63,9%, artinya Yoyok dapat menguasai tes matapelajaran IPA sebesar 63,9%
2. Penskoran pada bentuk soal uraian objektif
Pada bentuk soal
uraian objektif, biasanya langkah-langkah mengerjakan dianggap sebagai
indikator kompetensi para peserta didik. Oleh sebab itu, sebagai pedoman
penskoran dalam soal bentuk uraian objektif adalah bagaimana
langkah-langkahmengerjakan dapat dimunculkan atau dikuasai oleh peserta didik
dalam lembar
jawabannya. Untuk membuat pedoman penskoran, sebaiknya Kita melihat kembali rencana kegiatan
pembelajaran untuk mengidentifikasi indikator-indikator tersebut.Perhatikan
contoh berikut;
Indikator :
peserta didik dapat menghitung isi bangun ruang (balok) dan mengubah
satuan ukurannya.
Butir soal:
Sebuah bak mandi
berbentuk balok berukuran panjang 150 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 75 cm. Berapa
literkah isi bak mandi tersebut? (untuk menjawabnya tuliskan
langkah-langkahnya!)
Langkah
|
Kunci Jawaban
|
Skor
|
1
|
Isi balok
= panjang x lebar x tinggi
|
1
|
2
|
= 150cm x 80cm x 75cm
|
1
|
3
|
= 900.000 cm3 (isi balok dlm liter)
|
1
|
4
|
= 900.000/1000 liter
|
1
|
5
|
= 900 liter
|
1
|
Skor
maksimum
|
5
|
3. Penskoran pada bentuk soal fill-in and completion
(tes isian dan melengkapi)
Mengenai cara menilai tes bentuk ini dapat menggunakan rumus : S=R (S=Skor
terakhir atau yang diharapkan, R=jumlah isian yang dijawab betul)
Contoh :
Misalkan
sebuah tes berbentuk isian mengandung 30 isian. Ani mengerjakan tes tersebut 23
isian yang betul, 5 isian salah, 2 isian kosong (tidak dijawab). Maka skor ani
= 23 (tiap isian diberi nilai satu).
4.
Penskoran pada
bentuk soal true-false (tes benar-salah)
Setiap items tes bentuk true-false diberi skor maksimum 1 . jadi, apabila
suatu item di jawab betul (sesuai dengan kunci jawaban), maka skornya adalah 1.
Jika dijawab salah maka skornya 0. Untuk menghitung skor terakhir dari seluruh
item biasanya dipergunakan rumus :
S = R – W
Ket : S =
skor terakhir atau yang diharapkan
R=
Jumlah item yang dijawab betul
W=
Jumlah item yang dijawab salah
N
= banyaknya option; untuk true false
1
= bilangan tetap
Contoh :
Misal jumlah
item true-false (B-S) =20 .Seorang siswa bernama Andi menjawab betul 13
item, dan salah 7 item. Maka skor diperoleh Andi adalah:
S
= 13- 7 = 6 , Maka skor Andi adalah 6
5. Penskoran pada bentuk soal matching (tes
menjodohkan)
Rumus yang
digunakan : S=R
Contoh :
Aldo dapat
mengerjakan tes tersebut 7 item betul da 3 item salah. Maka skor
yang diperoleh Aldo = 10-3 = 7 .
6. Penskoran Soal Bentuk Uraian Non-Objektif
Prinsip penskoran soal bentuk uraian
non-objektif sama dengan bentuk uraian
objektif yaitu menentukan indikator kompetensinya.
Perhatikan contoh berikut;
Indikator : peserta didik dapat mendeskripsikan alasan
Warga Negara Indonesia bangga menjadi Bangsa Indonesia.
Butir soal : tuliskan alasan-alasan yang membuat Kita
berbangga sebagai Bangsa Indonesia!
Pedoman
penskoran: Jawaban boleh bermacam-macam namun pada pokok jawaban tadi dapat dikelompokkan
sebagai berikut.
Contoh
Pedoman Penskoran
Kriteria
jawaban
|
Rentang
skor
|
Kebanggaan yang berkaitan dengan
kekayaan alam Indonesia
|
0 – 2
|
Kebanggaan yang berkaitan dengan
keindahan tanah air Indonesia
(pemkitangan alamnya,
geografisnya, dll)
|
0 – 2
|
Kebanggan yang berkaitan dengan
keanekaragaman budaya, suku,
adat, istiadat tetapi tepat
bersatu.
|
0 – 2
|
Kebanggan yang berkaitan dengan
keramahtamahan masyarakat
Indonesia.
|
0 – 2
|
Skor tertinggi
|
8
|
7. Pembobotan
Soal Bentuk Campuran
Dalam beberapa
situasi bisa digunakan soal bentuk campuran, yaitu bentuk pilihan dan bentuk
uraian. Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan bentuk uraian
ditentukan oleh cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau tingkat berpikir
yang terlibat dalam mengerjakan soal. Pada umumnya cakupan materi soal bentuk pilihan
ganda lebih banyak, sedang tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan
soal bentuk uraian biasanya lebih banyak dan lebih tinggi. Suatu ulangan
terdiri dari n1 soal pilihan ganda dan n2 soal uraian. Bobot untuk soal pilihan
ganda adalah w1 dan bobot untuk soal uraian adalah w2. Jika seorang peserta
didik menjawab benar n1 pilihan ganda, dan n2 soal uraian, maka peserta didik
itu mendapat skor:
|
b1 = bobot soal 1
b2 = bobot soal 2
Contoh: Suatu ulangan
terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan, dan 4 buah soal bentuk
uraian. Titi dapat menjawab benar soal pilihan ganda 16 butir dan salah 4
butir, sedang bentuk uraian bisa dijawab benar 20 dari skor maksimum 40.
Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40 dan bentuk uraian 0,60, maka skor yang
diperoleh Titi dapat dihitung sebagai berikut;
a. skor
pilihan ganda tanpa koreksi jawaban dugaan : (16/20)x100 = 80
b. skor
bentuk uraian adalah : (20/40)x100 = 50
c. skor
akhir adalah : 0,4 x (80) + 0,6 x (50) = 62
Domain
afektif ikut menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Paling tidak ada
dua komponen dalam domain afektif yang penting untuk diukur, yaitu sikap dan minat
terhadap suatu pelajaran. Sikap peserta didik terhadap pelajaran bisa positif bisa
negatif atau netral. Tentu diharapkan sikap peserta didik terhadap semua mata pelajaran
positif sehingga akan timbul minat untuk belajar atau mempelajarinya. Peserta
didik yang memiliki minat pada pelajaran tertentu bisa diharapkan prestasi belajarnya
akan meningkat secara optimal, bagi yang tidak berminat sulit untuk meningkatkan
prestasi belajarnya. Oleh karena itu, Kita memiliki tugas untuk membangkitkan
minat kemudian meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran yang diampunya.
Dengan demikian akan terjadi usaha yang sinergi untuk meningkatkan kualitas
proses pembelajaran. Langkah pembuatan instrumen domain afektif termasuk sikap
dan minat adalah sebagai berikut:
Langkah
pembuatan instrumen domain afektif termasuk sikap dan minat adalah sebagai
berikut:
a.
Pilih ranah afektif yang akan
dinilai, misalnya sikap atau minat.
b.
Tentukan indikator minat:
misalnya kehadiran di kelas, banyak bertanya, tepat waktu mengumpulkan tugas,
catatan di buku rapi, dan sebagainya. Hal ini selanjutnya ditanyakan pada
peserta didik.
c.
Pilih tipe skala yang digunakan,
misalnya Likert dengan 5 skala: sangat berminat, berminat, sama saja, kurang
berminat, dan tidak berminat.
d.
Telaah instrumen oleh sejawat.
e.
Perbaiki instrumen.
f.
Siapkan kuesioner atau inventori
laporan diri.
g.
Skor inventori.
h.
Analisis hasil inventori skala
minat dan skala sikap.
Contoh:
Instrumen untuk
mengukur minat peserta didik yang telah berhasil dibuat ada 10 butir. Jika
rentangan yang dipakai adalah 1 sampai 5, maka skor terendah seorang peserta
didik adalah 10, yakni dari 10 x 1 dan skor tertinggi sebesar 50, yakni dari 10
x 5. Dengan demikian, mediannya adalah (10 + 50)/2 atau sebesar 30. jika dibagi
menjadi 4 kategori, maka skala 10-20 termasuk tidak berminat, 21 sampai 30
kurang berminat, 31 – 40 berminat, dan skala 41 – 50 sangat berminat.
1. Penyusunan Tes Psikomotor
Tes untuk mengukur ranah psikomotor
adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah
dikuasai peserta didik. Tes tersebut menurut Lunetta dkk. (1981) dalam Majid
(2007) dapat berupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan
tes unjuk kerja. Skala penilaian cocok untuk menghadapi subjek yang jumlahnya
sedikit. Perbuatan yang diukur menggunakan alat ukur berupa skala penilaian
terentang dari sangat tidak sempurna sampai sangat sempurna. Jika dibuat skala
5, maka skala 1 paling tidak sempurna dan skala 5 paling sempurna. Misal
dilakukan pengukuran terhadap keterampilan peserta didik menggunakan
thermometer badan. Untuk itu dicari indikator-indikator apa saja yang
menunjukkan peserta didik terampil menggunakan thermometer tersebut, misal
indikator-indikator sebagai berikut:
1)
Cara mengeluarkan termometer dari
tempatnya.
2)
Cara menurunkan posisi air raksa
serendah-rendahnya.
3)
Cara memasang termometer pada tubuh
orang yang diukur suhunya.
4)
Lama waktu pemasangan termometer pada
tubuh orang yang diukur suhunya.
5)
Cara mengambil termometer dari tubuh
orang yang diukur suhunya.
6)
Cara membaca tinggi air raksa dalam pipa
kapiler termometer.
Dari
contoh cara pengukuran suhu badan menggunakan skala penilaian, ada 6 butir soal
yang dipakai untuk mengukur kemampuan seorang peserta didik jika untuk butir 1
peserta didik yang bersangkutan memperoleh skor 5 berarti sempurna/benar, butir
2 memperoleh skor 4 berarti benar tetapi kurang sempurna, butir 3 memperoleh skor
4 berarti juga benar tetapi kurang sempurna, butir 4 memperoleh skor 3 berarti kurang
benar, butir 5 memperoleh skor 3 berarti kurang benar, dan butir 6 juga memperoleh
skor 3 berarti kurang benar, maka total skor yang dicapai peserta didik.
tersebut adalah (5 + 4 + 4 + 3 + 3 + 3) atau 22.
Seorang peserta didik yang gagal akan memperoleh skor 6, dan yang berhasil
melakukan dengan sempurna memperoleh skor 30; maka median skornya adalah (6 +
30)/2 = 18. Jika dibagi menjadi 4 kategori, maka yang memperoleh skor 6 – 12
dinyatakan gagal, skor 13 – 18 berarti kurang berhasil, skor 19 – 24 dinyatakan
berhasil, dan skor 25 – 30 dinyatakan sangat berhasil. Dengan demikian peserta
didik dengan skor 21 dapat
dinyatakan sudah berhasil tetapi belum
sempurna/belum sepenuhnya baik jika sifat keterampilannya adalah absolut, maka
setiap butir harus dicapai dengan sempurna (skala 5). Dengan demikian hanya
peserta didik yang memperoleh skor total 30 yang dinyatakan berhasil dan dengan
kategori sempurna.
Setelah
kegiatan penskoran dilakukan maka tugas kita sebagai guru adalah mengolah
skor-skor hasil tes menjadi skor stkitar atau nilai stkitar yang menggambarkan
nilai prestasi para peserta didik mutu pembelajaran yang telah Kita lakukan
selama waktu tertentu. Ada dua pendekatan yang umum dipakai oleh para guru,
yaitu pendekatan: (1) Penilaian Acuan Norma atau disingkat PAN dan (2)
Penilaian Acuan Patokan atau disingkat PAP.
1.
Penilaian
Acuan Norma (PAN)
PAN
ialah penilaian yang membandingkan hasil belajar mahasiswa terhadap
hasil dalam kelompoknya. Tujuan penggunaan tes acuan norma biasanya lebih
umum dan komprehensif dan meliputi suatu bidang isi dan tugas belajar yang
besar. Tes acuan norma dimaksudkan untuk mengetahui status peserta tes
dalam hubungannya dengan peserta yang lain yang telah mengikuti tes. Penilaian acuan
norma (PAN) merupakan pendekatan klasik, karena tampilan pencapaian hasil
belajar siswa pada suatu tes dibandingkan dengan penampilan siswa lain
yang mengikuti tes yang sama. Pengukuran ini digunakan sebagai metode
pengukuran yang menggunakan prinsip belajar kompetitif.
Ada beberapa pendapat tentang pengertian Penilaian
Acuan Normatif yaitu :
a) PAN
adalah nilai sekelompok peserta didik (siswa) dalam suatu proses pembelajaran
didasarkan kepada tingkat penguasaan di kelompok itu.
b) PAN
adalah penilain acuan normatif yaitu dengan cara membandingkan nilai seorang
siswa dengan nilai kelompoknya. Jadi dalam hal ini prestasi seluruh siswa dalam
kelas atau kelompok dipakai sebagai dasar penilaian.
c) Pengolahan
dan pengubahan skor mentah menjadi nilai dilakukan dengan mengacu pada
norma atau kelompok.[3]
Dari beberapa pengertian
dapat di simpulkan bahwa PAN adalah penilaian yang dilakukan dengan mengacu
pada norma kelompok, nilai-nilai yang diperoleh siswa diperbandingkan dengan
nilai-nilai siswa yang lain yang termasuk dalam kelompok itu.
Kriteria
dan Ciri-ciri PAN
Penyusunan penilaian
acuan normatif tidak ditekankan untuk mengukur penampilan yang eksak dari
bebavioral objectives. Dengan kata lain soal-soal pada pan tidak didasarkan atas
pengajaran yang diterima siswa atau atas ketrampilan atau tingkah laku
yang diidentifikasikan sebagai sesuatu yang dianggap releva bagi belajar
siswa. Pada proses belajar, penilaian nilai normatif pada umumnya banyak
dilakukan oleh seorang guru. Penekanan dalam penilaian untuk proses belajar,
seorang menggacu pada ketentuan atau norma yang berlaku disekolah,
disamping itu seorang guru dapat menggunakan acuan normatif Nasional.
Untuk melakukan itu guru dapat membandingkan hasil belajar yang dapat dicapai
didalam kelas dengan acuan norma yang ada, termasuk pencapaian lulusan siswa
dengan standar nasional yang besarnya 4,26. Apabila ternyata hasil pencapain
belajar dikelas tidak berbeda secara singnifikan berarti para siswa dapat
dikatakan memiliki kemampuan baku.
Contoh cara
penilaian yang pernah dilakukan untuk menentukan kelulusan (lulus-tidaknya)
seorang siswa dalam UAS (Ujian Akhir Semester) untuk SMTP dan SMTA pada akhir
tahun ajaran. Dari hasil UAS itu diperoleh nilai UAS, yang berasal dari hasil
penilaian panitia ujian dengan menggunakan patokan prosentase, yang menunjukan
tingkat kemampuan atau penguasaan siswa tentang materi pengajaran yang
diujikan. Dengan kata lain, nilai UAS merupakan hasil penilaian dengan cara
PAP. Akan tetapi, setelah nilai-nilai UAS itu. pada umumnya sangat rendah
sehingga tidak memenuhi syarat untuk dapat dinyatakan lulus, kemudian
nilai-nilai itu diolah ke dalam PAN dengan menggunakan rumus tertentu dengan
maksud agar nilai-nilai tersebut dapat diperbesar.
Rumus
yang digunakan:
PAN
= (p + q + nR)/(2+n)
Ket:
p = Nilai rapor semester ganjil
q = Nilai rata-rata subsumatif semester genap
R = Nilai UAS
n = Koefisien dari nilai UAS/Koefisien R
Ket:
p = Nilai rapor semester ganjil
q = Nilai rata-rata subsumatif semester genap
R = Nilai UAS
n = Koefisien dari nilai UAS/Koefisien R
Dengan ketentuan bahwa
rentangan harga n bergerak dari 2 sampai dengan 0,5, hal ini dimaksudkan agar
masing-masing daerah dapat menyesuaikan dengan kondisi wilayahnya (koefisien
R).
Misalkan seorang siswa SD di Kotamadya Semarang dimana koefisien R(n) kanwil Semarang adalah 0,75 memperoleh nilai p= 5, nilai q= 8 dan hasil UASnya (R)=4. dengan rumus yang berlaku, di Semarang nilai siswa tersebut menjadi:
N= (p+q+nR) / (2+n)
N= (5+8+(0,75x4) / (2+0,75)
N= 16 / 2,75
N= 5,82
Nilai 5,82 itulah yang dicantumkan dalam Rapor.
Ciri-ciri
PAN antara lain sebagai berikut
a. Tidak
untuk menentukan kelulusan seseorang, tetapi untuk menentukan rangking
mahasiswa dalam kelompok tertentu .
b. Memetakan
perbandingan antara mahasiswa : mahasiswa dinilai dan diberi rangking antara
stu dengan yang lainnya.
c. Menggaris
bawai perbedaan prestasi antara mahasiswa.
d. Hanya
mengandalkan nilai tunggal dan perangkat tunggal.[8]
Kelebihan
dan kekurangan PAN
a. Kelebihan PAN
1)
Kebiasan penggunaan penilaian
berdasarkan refrensi norma atau kelompok dipendidikan tinggi.
2)
Diharapkan tinggat kinerja yang sama
terjadi pada setiap kelompok mahasiwa.
3)
Bermanafaat untuk membandingkan
mahasiswa atau penghargan utama untuk sejumlah mahasiswa tertentu.
4)
Mendukung tradisional kekukuhan
akademis dan menggunakan standar.
b. Kekurangan PAN
1) Sedikit
menyebutkan kompetensi mahasiswa apa yang mereka ketahui atau dapat mereka
lakukan.
2) Tidak
fair karena peringkat mahasiswa tidak hanya bergantung pada tingkatan prestasi,
tetapi juga atas prestasi mahasiswa lain.
3) Tidak
dapat diandalkan mahasiswa yang gagal sekarang mungkin dapat lulus tahun
berikutnya.
2.
Penilaian
Acuan Patokan (PAP)
Kita
sebagai guru harus menentukan sejak awal manakah pendekatan yang dipakai untuk
mengubah skor-skor peserta didik menjadi nilai. PAP Kita pilih sebagai
pendekatan apabila Kita berkeinginan membandingkan skor peserta didik dengan
suatu nilai sekitar yang sudah ditentukan berdasarkan skor teoritisnya. Skor
teoritis adalah skor maksimal apabila menjawab benar semua butir soal dalam
suatu perangkat tes. Selain itu PAP dipilih dengan pertimbangan bahwa perangkat
tes yang dipakai untuk mengukur prestasi peserta didik merupakan perangkat tes
terstkitar yang terjamin reliabilitas dan validitasnya. Melihat prinsip PAP
sebagai pendekatan konversi skor-skor prestasi, maka pendekatan ini cocok
digunakan untuk penilaian formatif, yaitu asesmen yang dilakukan pada setiap
akhir satuan pelajaran yang berfungsi untuk perbaikan proses pembelajaran yang
Kita lakukan. Sejak tes formatif belum Kita mulai, Kita sudah dapat menentukan
suatu kriteria keberhasilan pembelajaran yang Kita lakukan dengan memberikan
patokan atau stkitar melalui skor teoritis.
Pendekatan
Penilaian Acuan Patokan (PAP) disebut juga penilaian dengan norma absolut atau
kriteria. Pendekatan PAP berarti membandingkan skor-skor hasil tes peserta
didik dengan kriteria atau patokan yang secara absolut/mutlak telah ditetapkan
oleh guru. Jadi skor peserta didik tidak dibandingkan dengan kelompoknya tetapi
skor-skor itu akan dikonversi menjadi nilai-nilai berdasarkan skor teoritisnya.
Umumnya seorang guru yang menggunakan PAP sudah dapat menyusun pedoman konversi
skor-skor menjadi nilai standar sebelum tes dimulai. Oleh sebab itu, umumnya
hasil pengukuran dari periode ke periode berikutnya dalam kelompok berbeda
maupun yang sama akan dapat dipertahankan keajegannya atau konsistensinya.
Hasil penerapan PAP dalam penilaian peserta didik akan dapat Anda ramalkan
dengan terlebih dahulu melihat skor teoritis dan kualitas para peserta didik
dalam kelompok atau kelas. Misal pada penilaian dengan skala-5, PAP Anda
berlakukan pada kelompok/kelas yang kurang pandai maka diperkirakan banyak
peserta didik mendapatkan nilai prestasi kurang, yaitu ditandai dengan
banyaknya peserta didik dengan nilai E, D, serta C sedangkan nilai B dan A
lebih sedikit seperti pada kurva-A berikut.
Apabila
PAP diberlakukan kepada kelompok/kelas dengan rata-rata pandai maka
diperkirakan distribusi nilai seperti pada kurva-B. Peserta didik yang mendapat
nilai E, D, dan C lebih sedikit bila dibandingkan jumlah peserta didik dengan
nilai B dan A. Secara ideal dalam sudut pandang produk penilaian maka kurva
yang diharapkan terjadi dalam PAP adalah kurva-B, namun apabila memberikan
hasil seperti kurva-A bukan berarti Anda gagal dalam pembelajaran, tetapi
sebagai sebuah proses Anda diwajibkan mengidentifikasi proses pembelajaran yang
telah berlangsung dan menemukan titik lemah pembelajaran kemudian melakukan
perbaikan-perbaikan. Distribusi nilai suatu kelas/kelompok mungkin saja
membentuk kurva-A apabila perangkat tes yang digunakan memiliki butir-butir
soal yang terkategori ”sulit” meskipun prestasi mereka di atas rata-rata.
Sebaliknya suatu kelas/kelompok dengan prestasi di bawah rata-rata, distribusi
nilainya akan membentuk seperti kurva-B karena perangkat soalnya terlalu mudah.
Sebab itu, sekali lagi PAP akan dapat menggambarkan prestasi siswa yang
obyektif bila perangkat tes yang digunakan adalah perangkat tes terstandar.
BAB
III
PENUTUP
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar ada tiga ranah yaitu afektif,
kognitif, & psikomotor. Adapun untuk mengetahui hasil belajar tersebut
adalah dengan dilakukanya evaluasi, baik berupa tes maupun non tes.
Penskoran adalah pembuatan skor hasil
tes prestasi peserta didik berdasarkan modeltipe soal dan pembobotannya pada
suatu perangkat tes, umumnya hasil penskoran dirupakan dalam bentuk angka. Untuk
bentuk soal tes objektif bisa digunakan rumus yang masing- masing telah di
tentukan. Cara menskor soal-soal essay sebaiknya nilai jawaba-jawaban soal
essay dalam hubungannya dengan hasil belajar yang sedang diukur, lalu
evaluasilah semua jawaban-jawaban siswa soal demi soal, dan bukan siswa demi
siswa, evaluasilah juga jawaban-jawaban soal essay tanpa mengetahui identitas
atau nama murid yang mengerjakan jawaban itu.
PAP disebut juga penilaian dengan norma
absolut atau kriteria. Cocok digunakan untuk penilaian formatif, yaitu asesmen
yang dilakukan pada setiap akhir satuan pelajaran yang berfungsi untuk
perbaikan proses pembelajaran yang Kita lakukan. PAN adalah penilaian yang
mengacu kepada norma untuk menentukan kedudukan atau posisi seorang peserta
didik di antara kelompoknya. biasanya mengukur sejumlah besar
perilaku khusus dengan sedikit butir tes untuk setiap perilaku.
menekankan perbedaan di antara peserta tes dari segi tingkat pencapaian belajar
secara relatif. digunakan terutama untuk survey. lebih mementingkan butir-butir
tes yang mempunyai tingkat kesulitan sedang dan biasanya membuang tes yang
terlalu mudah dan terlalu sulit.
Berdasarkan kesimpulan
diatas, maka setiap sebaiknya kita sebagai guru hendaklah mengetahui benar
bagaimana proses pengolahan nilai yang baik. Agar nantinya hasil belajar yang
kita harapkan akan dapat terevaluasi dan terbaiki dengan sempurna.
Arikunto Suharsimi
Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta,
1992
|
Purwanto,
Ngalim. 2009. Prinsip-prinsip dan Tehnik Evaluasi Pembelajaran.Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
|
http://pjjpgsd.dikti.go.id/file.php/1/repository/dikti/Mata%20Kuliah%20Awal/Assesment%20Pembelajaran/BAC/assessmen_pembelajaran_6.pdf
|
|
No comments:
Post a Comment